TANAH AIR INDONESIA as Indonesian Blogger - http://indonesia.go.id
SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM KOMUNITAS TEATER SRENGENGE - SMK NEGERI 1 PASURUAN

Sabtu, 04 Desember 2010

Teater Untuk Siapa ?


Teater Kecil TIM -- Betulkah ‘penonton’ sudah menjadi barang langka bagi dunia pertunjukan macam teater? Pertanyaan itulah yang hendak dijawab para seniman teater saat menghadiri ‘Sarasehan Teater Jakarta yang digelar Dewan Kesenian Jakarta’, Senin, 29 Desember di Teater kecil Taman Ismail Marzuki, TIM.

Pengurus Teater Koma, Ratna Riantiarno, aktor senior Dorman Borisman hanya beberapa nama dari sekitar 30 seniman teater se-Jakarta yang ikut hadir dalam sarasehan itu. Seakan hendak mengupas permasalah teater secara utuh, acara itu juga mengundang sejumlah seniman teater daerah, kalangan pers hingga pengelola gedung pertunjukan seperti Marusya Nainggolan (Direktur Gedung Kesenian Jakarta) dan Anto Suhartono (Pengurus PKJ-Taman Ismail Marzuki).

Menurut Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Arswendi Nasution mereka semua diundang agar bisa memberi perspektif yang utuh mengenai permasalahan yang dihadapi dunia teater dewasa ini.

‘Pertanyaan yang selama ini menggantung adalah, apakah penonton yang meninggalkan teater, atau teater yang meninggalkan penonton’, kata Wendi.

Faktanya, minat masyarakat terhadap seni teater tak terlalu berkembang. Menurut pengurus Teater Koma, Ratna Riantiarno, rendahnya apresiasi dan minat masyarakat terhadap seni pertunjukan ini terlihat dari sepinya penonton dalam setiap pementasan.

‘Jangankan disuruh bayar, atau diskon hingga setengah harga tiket. Kita undang secara gratis saja banyak yang tidak datang’, ujarnya.

Miskin Kreatifitas

‘Saat ini, nyaris tak ada lagi seniman teater hebat macam Asrul Sani’, ujar Yudhi Sunarto, anggota Komite Teater DKJ.

‘Ia melahirkan naskah dari ribuan buku yang ia baca sebagai referensinya. Sekarang adakah diantara kita yang melakukan upaya serupa ?’, tanyanya kepada puluhan seniman yang hadir. Yang ditanya bergeming.

Yudhi menambahkan, selain pengalaman, buku-buku seharusnya menjadi referensi yang sangat baik untuk menghindari miskinnya ide dan kreasi dalam berteater. Itu juga sekaligus menjadi indikator kualitas karya yang dihasilkan oleh para seniman.

Sementara itu Arswendi berpendapat, minimnya apresiasi terhadap seni teater diduga lantaran cenderung kurang bisa menyerap atmosfer, kondisi dari lingkungan sekitarnya, masyarakat.

‘Rendra pernah membawa teater sangat dekat dengan publik dengan tema-tema yang sangat dekat dengan masyarakat.’ Ujarnya.

Wendi bertutur, ide Rendra mengangkat tema-tema krisis sosial dan represi semasa orde baru menggugah minat masyarakat untuk terlibat dalam teater. ‘Karena itu seni teater sempat mendapat tempat pada masa itu’, katanya mengenang.

Peran Dewan Kesenian Jakarta

Dalam situasi seperti ini, peran Dewan Kesenian Jakarta semestinya bisa lebih terasa dengan menjembatani jurang masalah tadi. Arswendi Nasution, Ketua Komite Teater mengatakan akan selalu berupaya memberi rangsangan terhadap pertumbuhan teater.

‘Festival Teater Jakarta (FTJ) salah satu upaya itu’, kata Wendi. Kedepan, katanya, FTJ akan terus meningkatkan mutu dan kualitas pertunjukannya sehingga bisa lebih berkembang dan diterima masyarakat luas. (Dimas Fuady/Eva Tobing - DKJ)

PROGRAM DESEMBER 2010 DEWAN KESENIAN JAKARTA

"Mencairnya Batas-Batas, Mengelola Keberagaman"

5-31 Desember 2010

Merayakan akhir tahun, Dewan Kesenian Jakarta menggelar program kesenian dari berbagai bidang kesenian, mulai dari musik, sastra, film, teater, hingga seni rupa dan tari.

“Mencairnya Batas-batas, Mengelola Keberagaman” dipilih sebagai tema utama yang melandasi pemikiran bahwa bangsa Indonesia yang multikultur harus menjadi keinsafan bersama dalam proses merawat republik. Sebuah frasa yang dianggap dapat menjelaskan fenomena kebangsaan Indonesia yang majemuk dan tentunya Jakarta sebagai poros terjadinya akulturasi itu.

Adapun “mencairnya batas-batas” bisa dipahami sebagai tak terbatasnya kemungkinan ekspresi kesenian. Ia bisa menjadi tak berhingga di satu sisi, tetapi juga membuka kemungkinan kolaborasi satu kesenian dengan kesenian lainnya di sisi lainnya. Karena itu, kondisi ini juga menyaratkan daya citpa yang terus menerus hidup dan terjamin kehidupannya.

Sebuah kota yang multikultur seperti Jakarta sudah selayaknya menyediakan lingkungan yang sehat untuk pertumbuhan daya cipta seperti ini.



TEATER

1. Festival Teater Jakarta 2010
Ini adalah festival teater tertua di Indonesia. Usianya kini kini memasuki tahun ke-38. Festival ini bisa disebut sebagai semacam laboratorium yang memungkinkan para pekerja teater Jakarta menggagas dan mengamalkan berbagai kemungkinan penciptaan teater. Seraya membandingkan diri dengan pertumpuhan teater di luar Jakarta, festival ini menjadi tolok ukur naik-turunnya prestasi kelompok-kelompok teater di Jakarta. Terutama dalam menanggapi berbagai perkembangan terbaru khazanah perteateran di Indonesia. Pementasan diikuti oleh puluhan kelompok teater, ratusan aktor dan aktris, serta ribuan kru yang akan berkompetisi memperebutkan berbagai gelar.

16 – 26 Desember 2010
Teater Ketjil | Taman Ismail Marzuki
Graha Bhakti Budaya | Taman Ismail Marzuki
Teater Luwes | Institut Kesenian Jakarta


SENI MUSIK

2. Shop in Chopin
Konsep festival musik ini, sesuai dengan namanya Shop in Chopin, menawarkan berbagai kemungkinan pendekatan atas Frederic François Chopin (pemusik asal Polandia yang menjadi terkenal di Prancis dengan repertoar khas piano).

Selayaknya pasar serba-ada yang menawarkan berbagai olahan atas bahan makanan, maka di dalam festival Shop in Chopin publik dapat memilih apa yang menjadi pilihannya, mulai dari konser musik klasik dari para “grand dame” musik klasik Indonesia, lecture concert dari seorang guru musik Indonesia, sampai acara pemutaran film yang diprogram oleh Kineforum.

A. Tiga Pianis Besar Indonesia
Kamis, 9 Desember 2010 | 19.30 WIB
Usmar Ismail Hall
Jl. HR Rasuna Said Kav. C 22 | Jakarta Selatan

Menampilkan :
• Iravati M. Sudiarso
• Pudjiwati Insia M. Effendi
• DR. Kuei Pin Yeo

Pre-Concert Lecture:
Oleh Slamet Abdul Sjukur
Tema: “Tahun Chopin”
16.30-17.30 WIB

B. “Young Artists Concert” Chamber Music
Minggu, 12 Desember 2010 | 19.30 WIB
Teater Studio | Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73 | Jakarta Pusat

Pre-Concert Lecture:
Oleh Suka Hardjana
Tema: “Chopin dalam Musik Kamar”
16.30-17.30 WIB

C. Shadow Puppets*
Memainkan karya-karya Chopin dalam musik Jazz
Gedung Kesenian Jakarta
Jl. Gedung Kesenian No. 1, Pasar Baru | Jakarta Pusat
Senin, 13 Desember 2010 | 19.30 – 21.30 WIB

Pre-Concert Lecture:
Oleh Jaya Suprana
Tema: “Chopin dalam Jazz”
16.30 – 17.30 WIB

3. Organologi 2 (pembuat Kecapi, Sasando, Rebi)
11 – 15 Desember 2010
Gedung Kesenian Jakarta | Jakarta Pusat

4. Organologi 3 (alat musik Brass)
28 -30 Desember 2010
Galeri Cipta III | Taman Ismail Marzuki

Organologi merupakan rangkaian program yang dikonsep Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta. Salah satu tujuannya untuk memperkenalkan kepada khalayak beberapa alat musik tradisional yang relatif langka, tapi masih sering digunakan oleh masyarakat tertentu. Tujuan lainnya untuk melestarikan kekayaan kultural yang kita miliki.


SENI SASTRA

5. Panggung Sastra Komunitas
Rabu , 15 Desember 2010
Teater Kecil | Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73, Menteng | Jakarta Pusat

Kegiatan ini berangkat dari pemikiran bahwa komunitas adalah basis pertumbuhan sastra di Indonesia, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu panggung ini bertujuan untuk memberi ruang berekspresi, sekaligus melihat peta potensi dan kekuatan komunitas sastra yang ada. Juga mendorong komunitas-komunitas tersebut untuk terus berbuat bagi peningkatan apresiasi dan kreativitas anggota mereka. Selain itu, juga untuk melihat peta kekuatan karya para anggota komunitas, baik dalam penulisan cerpen maupun puisi.

A. Diskusi
Sesi I: Komunitas sebagai basis pertumbuhan sastra
Waktu : 09.00—12.00 WIB
Tempat : Lobby Teater Studio | TIM
Pembicara : Asma Nadia, Gola Gong
Moderator : Rosida Erowati

Sesi II: Komunitas, Karya, dan Media Publikasi
Waktu : 13.00—16.00 WIB
Tempat : Selasar Teater Studio | TIM
Pembicara : Mikael Johani, Ibnu Wahyudi, Jamal D. Rahman
Moderator : Iwan Gunadi

B. Pentas Sastra
Pembacaan cerpen dan puisi | Musikalisasi puisi
Waktu : 19.30 WIB - selesai
Tempat : Teater Kecil | TIM

C. Bazaar Komunitas Sastra
Waktu : 10.00 – 22.00 WIB
Tempat : Selasar Teater Kecil | TIM

D. Penerbitan Buku Antologi Cerpen dan Puisi
Peluncuran buku : 19.00 WIB
Tempat : Teater Kecil |TIM

6. Bincang Tokoh Afrizal Malna
Galeri Cipta II | Taman Ismail Marzuki
17 Desember 2010, 15.00—17.00 WIB

Ini kali ketiga Dewan Kesenian Jakarta menggelar Bincang Tokoh. Sebelumnya program ini menampilkan Remy Silado dan Abdullah Harahap. Dipandu oleh seorang host acara ini bertujuan mendekatkan sastrawan-sastrawan terkemuka dan masih aktif, yang telah menghasilkan karya penting, dengan khalayaknya. Di samping perbincangan yang hangat dan mengasyikkan di antara dua penampil Bincang Tokoh juga menyediakan kesempatan khalayak untuk terlibat dalam perbincangan.


SENI TARI

7. Forum Ballet dan Modern Dance Indonesia
Di mana?
13 - 14 Desember

Forum ini merupakan ajang pertemuan komunitas balet di Indonesia. Di sini akan bisa dilihat potret dan perkembangan balet di Indonesia serta bagaimana prospek perjalanannya ke depan. Enam kelompok yang diundang mewakili enam wilayah di Indonesia. Akan tampil juga seorang pengamat untuk membaca potret tersebut dan mendiskusikannya dengan khalayak.

8. Forum Koreografi Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta
21-22 Desember 2010

Enam nama yang tampil dalam forum ini merupakan gabungan antara yang baru dan yang sudah ada sebelumnya. Yang baru adalah mereka yang dipandang memiliki potensi dan keinginan yang kuat untuk memasuki dunia koreografi profesional. Sedangkan yang lainnya adalah para koreografer yang memiliki potensi dan karakter yang kuat, tetapi jarang mendapat kesempatan berkarya dan menunjukkannya kepada publik. Pada FKJ kali ini enam koreografer yang diundang berasal dari dua latar belakang kesenian yaitu balet dan tradisi Indonesia.


SENI RUPA

9. Street Art Show "Breaking the Wall"
Halaman Teater Jakarta (Grand Theatre) – Taman Ismail Marzuki
8 – 18 Desember 2010

Inilah program pemanasan Jakarta Biennale 2011. Menampilkan ekspresi terbaru street art, selain mural dan graffiti, dengan medium seperti sampah daur ulang, ilusi tiga dimensi, balon, dan sebagainya. Konsep street art show sebagai bentuk kampanye bahwa mural seni jalanan bukan vandalisme, bukan pula semangat perlawanan terhadap batas-batas seni tinggi dan seni rendah, atau ekspresi yang liar dan destruktif. Pameran ini secara etis berpihak pada khalayak yang lebih luas, ketika seni rupa dirayakan secara egaliter dan merujuk pada kebudayaan kontemporer.

Peserta :
Komunitas X Serut | Judul karya : Building illusion
Popo & Kampung Segart | Judul karya : Fun
Amel n Friends | Judul karya : Bam! Bam! Go!
Komunitas Lintas Melawai | Judul karya : In Maridjan We Trust
Komunitas Atap Alis | Judul karya : Koma

Kurator : Bambang Widjanarko

10. Pameran Seni untuk Anak: Buku Ilustrasi Anak
CCF | Jakarta
10-16 Desember 2010
Pembukaan : Kamis, 10 Desember 2010 | 19:30 WIB

Dasar pemikirannya sederhana: buku bacaan anak bermutu di Indonesia tidaklah banyak. Karena itu, adalah menjadi salah satu tugas Dewan Kesenian Jakarta membuka pemikiran dan model aksi peningkatan mutu dan jumlah bacaan anak.

Model aksi yang kali ini ingin ditawarkan oleh DKJ adalah mengajak penulis dan perupa terkemuka Indonesia untuk bekerjasama atau berkolaborasi memikirkan kondisi bacaan anak serta mencoba merealisasikannya sebagai sebuah buku karya bersama untuk anak-anak. Karenanya, kami memberi sebutan bagi aksi ini: “dari Seni untuk Anak: Buku Ilustrasi Anak”.

Ada lima pasangan perupa dan penulis yang bersedia terlibat dalam tahap pertama dari proyek ini:

• Hanafi dan Nukila Amal
• Yayak Yatmaka dan Linda Christanty
• Wara Anindya dan Ayu Utami
• Ade Darmawan dan Daniela Pratono
• A.S. Kurnia dan Warih Wisatsana

Setiap pasangan bertemu untuk berdiskusi mengenai tema, format, cara kerja untuk merealisasikan buku anak yang mereka anggap ideal. Proses selama satu bulan ini kemudian akan dipresentasikan dalam bentuk pameran.

Acara terselenggara berkat kerjasama: Dewan Kesenian Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, serta dukungan dari CCF Jakarta


LINTAS SENI

11. Festival Seni Tradisi

A. Pentas Betawi
Pelataran Parkir Pusat Kesenian Jakarta | Taman Ismail Marzuki
6 Desember 2010

Pentas ini menampilkan berbagai seni tradisi Betawi yang masih bertahan hingga saat ini. Dalam pentas ini pula akan terlihat betapa kayanya unsur-unsur kebudayaan yang ikut membentuk seni tradisi Betawi. Penampilnya, antara lain:

a. Ondel-ondel dan Tanjidor
b. Gambang Kromong Modern
c. Gambang Rancak
d. Cokek
e. Rebana Biang
f. Blenggo
g. Lenong Betawi
h. Buka Palang Pintu
i. Musik Samrah
j. Marawis
k. Topeng Betawi

B. Pentas Seni Tradisi Indonesia
Pelataran Parkir PKJ TIM
7 Desember 2010

Adalah rangkaian pertunjukkan seni tradisi di Indonesia, terutama yang langka dan hampir punah, serta jarang sekali dipentaskan hari ini, antara lain:

a. Gandrung Banyuwangi (Supinah/Subari/Darti dari Jawa Timur).
b. Ho Ho Faluaya (Nias, Sumatera Utara).
c. Watu Blavi (Florest)
d. Alau Ambek (Pariaman, Sumatera Barat).
e. Lengger (Banyumas, Jawa Tengah).
f. Kecapi Suling (Cianjur)
g. Berokan (Indramayu)

C. Maestro! Maestro! 3
Teater Luwes | Institut Kesenian Jakarta
5 Desember 2010

Merupakan program berseri sejak Oktober (Maestro 1) Desember (Maestro 2). Dewan Kesenian Jakarta mengundang sejumlah maestro tari tradisi dari penjuru nusantara untuk berpentas di TIM. Mereka yang diudang telah menyandang gelar Maestro dari Kementrian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia.

Menampilkan :
Bapak Pelenjau | Maestro Tari Kanjet Lasan | Kalimantan Timur
Ibu Pedaan | Ngendau dari Suku Dayak Kenyah | Kalimantan Timur
Bapak Renon | Maestro Tari Belian Sentiu dari Kutai Barat | Kalimantan Timur
Bapak I Nyoman Catra | Maestro Tari Pajegan | Bali

D. Pemutaran Film dan Diskusi Seni Tradisi
Kineforum
11-12 Desember 2010

Pemutaran film dimaksudkan untuk memperlihatkan keberagaman bentuk seni tradisi di Indonesia, bermacam bentuk identitas, keunikan yang khas yang terangkum dalam totalitas gerak, musik, seni rupa, seni vokal, dan bahkan teatrikal.

Teater Boneka Tanpa Kata-Kata


Maria Tris Sulistyani dan Iwan Effendi mengajak kita ke dunia antah berantah lewat boneka yang penuh imajinatif. Memberikan warna lain dalam peringatan Hari Difabel Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember 2010.

Pertunjukkan boneka ini berjudul “MWATHIRIKA”. Dalam bahasa Swahili—nama suku di Afrika Timur—berarti KORBAN. Digelar pada 1-3 Desember 2010 di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis (LIP), Jl. Sagan No.3 Yogyakarta.

MWATHIRIKA adalah pertunjukan visual tanpa kata yang mengandalkan gerak tubuh boneka dengan tehnik Bunraku dan Kuruma Ningyo.

Menurut Maria, dalam tehnik ini boneka dimainkan oleh lebih dari 1 orang. Bunraku dalam MWATHIRIKA pula dibuat seukuran dengan manusia. Sementara setting panggung berupa kota imajinatif dengan bangunan surealis.

Maria bekerja sama dengan Iwan Effendi, seorang perupa dengan karya yang ilustratif mengeksplorasi teater bayangan, tata lampu dan tampilan visual gerak boneka. Pertunjukkan teater boneka ini akan diiringi oleh banyak bunyi dan musik.

Maria sendiri merupakan sutradara, penulis illustrator buku cerita anak-anak yang meraih penghargaan Empowering Women Artists 2010-2011 oleh Kelola. Ia mendirikan Papermoon Puppet Theatre.

Pertunjukkan teater boneka “Mwathirika” ini juga dipersembahkan kepada para penyandang tuna rungu.

Rabu, 01 Desember 2010

BANYAK ANAK BERMASALAH BELUM DAPATKAN HAK PENDIDIKAN

Jakarta, 15/2/2010 (Kominfo-Newsroom) Banyak di antara anak-anak

jalanan, anak yang mendekam di lembaga pemasyarakatan (lapas), dan
pekerja anak yang belum mendapatkan haknya di bidang pendidikan
dengan alasan yang beragam, mulai dari kemiskinan sampai hilangnya
minat anak karena telah dieksploitasi untuk bekerja.

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Pembinaan Sekolah Luar
Biasa, Kemendiknas RI, Ekodjatmiko Sukarso dalam keterangannya
kepada wartawan di Ruang Sidang Talenta Direktorat PSLB Kemendiknas
RI, Jakarta Selatan, Senin (15/2).

Dengan kenyataan tersebut, menurut Ekodjatmiko, lima kementerian
telah sepakat untuk duduk bersama dalam membahas program terpadu
untuk mengatasi persoalan anak jalanan dan keberadaan rumah
singgah, lapas anak, dan pekerja anak.

Salah satu program penting adalah bagaimana caranya
mengembalikan anak jalanan dan pekerja anak ke dunia pendidikan,
katanya.

Lima kementerian itu adalah Kemendiknas, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan
dan Kementerian Hukum & HAM.

Dijelaskan bahwa prioritas dari lima kementerian untuk membantu
pendidikan anak-anak tersebut pada tahun 2010 ada 10 program, di
antaranya adalah perluasan dan peningkatan akses, penguatan data
sekolah luar biasa (SLB) dan rumah singgah (PLK).

Kemudian pembangunan infrastruktur dasar bagi Wajib Belajar
(Wajar) 9 tahun, khususnya untuk daerah terpencil, terluar, dan
daerah terkena bencana, serta penguatan pendidikan vokasi (SMK dan
Poltek).

“Berdasarkan UUD 1945 Pasal 5 ayat 1 dan UU Perlindungan Anak,
Pasal 48, tidak ada diskriminasi dalam pendidikan. Anak-anak supaya
setara dan harus masuk ke pendidikan kembali. Misalnya anak di
lembaga pemasyarakatan, meskipun dalam lapas, tapi harus tetap
bersekolah,” kata Ekodjatmiko Sukarso.

Sementara itu Direktur Pengawasan Tenaga Kerja Perempuan dan
Anak, Kemnakertrans, Nur Asiah mengatakan, banyak pekerja anak yang
tidak mau kembali ke sekolah/belajar, oleh karenanya, sejak tahun
2008 telah diluncurkan program pengurangan pekerja anak. Sasarannya
adalah keluarga yang sangat minim.

“Program pengurangan pekerja anak adalah menarik anak kembali ke
pendidikan. Sudah dilakukan sejak tahun 2008, dan akan diteruskan
pada 2010 ini. Nantinya mereka akan didampingi di shelter,
tujuannya memotivasi anak untuk belajar, katanya.

Ia menjelaskan, meskipun ditawarkan pendidikan sekolah gratis,
namun banyak anak tetap tidak mau bersekolah.

Menurutnya, setelah ditarik ke shelter, maka anak-anak akan
dinilai berdasarkan minat dan bakat. Akan diteliti apakah masih ada
kemauan untuk kembali ke pendidikan, informal, formal, atau
nonformal, katanya menambahkan.

Nur Asiah mengungkapkan, dari sejumlah 4.850 anak yang pada
tahun 2008 telah ditarik dari tempat kerjanya, sebanyak 790 anak
bisa kembali sekolah di pendidikan formal, sedangkan anak yang
ditarik ke pendidikan keterampilan sebanyak 824 orang, dan sisanya
ditarik ke paket A, B, C atau pendidikan layanan khusus.

“Meskipun demikian, program tersebut masih jauh dari harapan,
karena yang benar-benar berhasil kembali ke pendidikan hanya 500-an
anak dari sebanyak 4.850 anak itu,” jelasnya.

Untuk tada 2010, lanjut Nur Asiah, akan ditarik sebanyak 3.000
anak dari 50 kabupaten dan kota di 13 provinsi. Tiap kabupaten atau
kota akan ditarik sekitar 60 anak.

Namun nantinya mereka tidak akan dilepas. Mereka akan tetap
didampingi oleh pendamping. Anggarannya dari Kemendiknas, mereka
akan mendapat pelatihan dan pendampingan untuk membantunya mandiri,
misalnya pelatihan menjahit, mendapat peralatan dan mesin jahit,
serta membantu memasarkan pekerjaannya,” kata Nur Asiah.

Leak Bakal Temani Martin Jankowski Sastrawan dari Jerman

Solo - Penerbit Waktoe bekerja sama dengan Goethe Institut Jakarta akan menampilkan Martin Jankowski (Sastrawan Jerman) untuk hadir di beberapa kota di Indonesia, berdiskusi sambil meluncurkan buku terbarunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Rabet: Runtuhnya Jerman Timur.

Dalam penampilannya di Auditorium FBS Universitas Negeri Surabaya (Selasa, 30 November 2010) dan di Auditorium, Universitas Muhammadiyah Surabaya (Selasa, 30 November 2010) serta di Dunia Tera Jl. Balaputradewa, Borobudur Magelang (Minggu, 12 Desember 2010), secara khusus Martin akan di temani oleh Sosiawan Leak (Sastrawan/Dramawan Solo) & Dorothea Rosa Herliany (Sastrawan Magelang) yang masing-masing bertindak sebagai narasumber diskusi di samping sebagai performer dalam acara itu.

Sebelumnya, program yang sama juga telah digelar di Banda Aceh (15 November 2010), Bandung (23 November 2010), Jakarta (24 November 2010). Usai dari Surabaya acara semacam itu juga akan digelar di Biak, Papua (4 Desember 2010), Denpasar, Bali (10 Desember 2010) dan Magelang (12 Desember 2010).

Buku roman karya Martin Jankowski sendiri bercerita dari perspektif seorang pemuda Jerman Timur yang mengalami kejadian dan suasana di tahun 1989, pada saat-saat terakhir keberadaan Republik Demokrasi Jerman. Secara tidak sengaja dan demi mencari kehidupan karir untuk terlepas dari “jeruji” masyarakat sosialis, pemeran utama (Benjamin Grasmann) terlibat pusaran kejadian pada saat-saat terakhir negara Jerman Timur. Tokoh inilah yang melibatkan pembaca ke dalam “revolusi damai” yang telah melenyapkan pemerintah negara Jerman Timur.

“Ibu Bumi” Keinginan dan Tekad Merubah Keadaan

Solo – Bima resah melihat kondisi Negara Astina yang mulai dipenuhi dengan kekacauan. Korupsi, kekerasan dan segala bentuk carut marut terjadi di negeri tersebut. Dari situ Bima mencoba membuka lahan dan ingin mendirikan Negara baru yang bebas dari segala kesemrawutan yang ada.

Namun upaya Bima tersebut mendapatkan jegalan dari sang patih Astina yang licik, yakni Sengkuni. Dengan segala cara, ia mencoba menggagalkan upaya Bima. Mulai dari menghasut para binatang untuk menyerang Bima hingga mendatangkan roh-roh untuk mencobai Bima.

Tekad kuat Bima disertai dengan dorongan dan restu sang bunda Dewi Kunthi ternyata mampu mematahkan segala upaya licik Sengkuni. Alhasil Negara Amarta yang bebas dari korupsi, kekerasan dan kesemrawutan pun berdiri.

Penggalan cerita diatas merupakan garapan dari cerita Mahabharata dengan lakon “Babad Alas Wanamarta” yang dimainkan oleh Agung Kusumo Widagdo, dkk dalam Temu Koreografer 2010. Sebuah repertoar karya Agung Kusumo Widagdo bersama composer Dedek Wahyudi di beri tajuk “Ibu Bumi”.

Menurut Agung Kusumo Widagdo, repertoar yang khusus digarap untuk Temu Koreografer 2010 tersebut adalah tafsir bebas tentang penggambaran cita-cita luhur untuk sesuatu yang lebih baik. “Sesuai dengan tema, kami juga berangkat tradisi. Kisah Babad Alas Wanamarta ini sangat kontekstual dengan kondisi saat ini. Lalu Bima sebagai tokoh utama adalah secerca asa untuk merubah segala kesemrawutan,” papar Agung.

“Ibu Bumi” disini juga menggambarkan betapa hebatnya Dewi Kunthi ibunda Bima yang dengan luar biasa terus memberikan dukungan dan doa restu kepada Bima, lanjutnya.

Dalam repertoarnya, Agung banyak menggunakan gerakan tradisi yang ia olah dengan gaya dan style yang ia miliki. “Tentu saja yang tadi dimainkan adalah tradisi yang sudah dikembangkan. Namun unsur tradisi masih cukup kentara di dalamnya,” lanjutnya lagi.

Sementara itu Dedek Wahyudi, composer musik mengatakan dalam repertoar bertajuk “Ibu Bumi” ia juga berangkat dari tradisi yakni gamelan. Namun dalam prakteknya ia mengkombinasikan dengan musik keroncong. “Ini irama gamelan yang dimainkan keroncong. Di sisi lain ada beberapa tambahan alat musik lain seperti gitar, bass, dan juga saxophone,” pungkasnya.

Wayang Digunakan Para Wali Sanga Sebagai Media Da’wah

Solo – Wayang mulai berkembang semenjak pada jaman kerajaan Demak digunakan sebagai media Da’wah Islam oleh para Wali Sanga. Hal tersebut diungkapkan Dr. Suyanto, S.Kar, MA salah seorang pembicara dalam Diskusi Wayang, Islam dan Jawa di Balai Soedjatmoko, Sabtu, (27/11).

Menurutnya wayang yang merupakan bagian dari kebudayaan Jawa sudah barang tentu selalu dekat dengan masyarakat Jawa. Lewat media inilah para Wali Sanga kala itu cukup mudah menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. “Wayang memiliki aspek pendekatan yang luar biasa, baik deri segi psykologi, sejarah, pedagogi, politik, bahkan ekonomi. Dengan menggunakan wayang sebagai media, maka Da’wah Islam dapat dilakukan dengan mudah. Ini kemudian menjadikan cerita wayang semakin berkembang,” paparnya.

Sebenarnya tidak banyak data yang bisa mengungkapkan secara jelas bagaimana wayang diciptakan oleh para wali dan terkandung pendidikan Islam. Namun yang terjadi proses akulturasi terus terjadi antara Islam itu sendiri dengan kebudayaan wayang yang sudah berkembang di masyarakat Jawa, lanjutnya.

Namun Suyanto menekankan bahwa wayang adalah sebuah media dimana didalamnya terdapat pesan-pesan budaya Jawa serta nilai-nilai filsafati sebagai pandangan hidup, moral kepemimpinan, pendidikan dan religi.

Sementara itu dalam makalahnya Abdullah Faishol dosen STAIN Surakarta yang juga menjadi pembicaramenyebutkan, Islam adalah agama yang memiliki nilai-nilai Universal dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam.

Village Film Festival 2010 : Lebih dari Film

Minggu sore yang dingin di Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka, karena sejak siang terus hujan. Warga desa berkumpul mencari kehangatan melalui obrolan dan pertemuan intim di galeri Jatiwangi Art Factory (JAF). Pada kesempatan itu, warga desa tak hanya bertemu dengan warga desa lain untuk bercengkrama, berbagi ceria seperti biasanya.

Sudah ada panggung yang sewaktu-waktu dapat melantunkan lagu-lagu, sudah ada banyak kain terpasang bertuliskan Village Film Festival (VFF), International Videomaker Residence and Film Festival, dan 4 Videomaker yang tak sabar melakukan presentasi di pembukaan VFF 2010 pada Minggu [14/11/10].

VFF adalah festival film residensi yang digulirkan oleh Sunday Screen bersama

komunitas seni JAF. Festival film ini melibatkan beberapa videomaker yang akan tinggal di desa selama 2 minggu, bekerja bersama warga desa, dan membuat karya audio-visual berupa Video Partisipatif. Video partisipatif merupakan bentuk media partisipatif dimana kelompok atau komunitas menciptakan film mereka sendiri. Ide di baliknya adalah bahwa membuat video itu mudah dan dapat diakses oleh siapa saja, suatu cara yang baik untuk membawa orang bersama-sama menggali isu-isu, menyuarakan bermacam masalah, atau

hanya untuk menjadi kreatif dan berbagi cerita. Video partisipatif memungkinkan sebuah kelompok atau masyarakat mengambil tindakan sendiri dalam memecahkan masalah mereka dan untuk mengkomunikasikan kebutuhan mereka.

Untuk kedua kalinya VFF diselenggarakan kembali di Kecamatan Jatiwangi. Lima Desa menjadi motor bagi desa lain setelah sebelumnya, mereka membuat iklan layanan masyarakat (ILM) yang mengangkat isu penting di desanya masing-masing. Lima Desa tersebut adalah Jatisura, Loji, Burujul Wetan, Leuweunggede, dan Sutawangi. Gelak tawa terdengar saat warga desa menonton ILM yang kebanyakan melibatkan warga desa mereka masing-masing, setelah sebelumnya 4 videomaker partisipasi melakukan presentasi. Lucu memang.

Kemampuan akting warga desa yang polos dan apa adanya dalam film ILM membuat Teresa Birks (Inggris), Joacelio Batista (Brazil), Alfie Chen (Taiwan), Yupica Gaiano (Jepang), ikut tersenyum. Keempatnya adalah videomaker yang akan melakukan kerja bersama dengan warga desa. Warga desa yang telah mampu menyuarakan masalah, mengolah isu, dan mendokumentasikannya melalui video.

Dengan kehadiran 4 videomaker dengan latar belakang berbeda-beda, yang masing- masingnya khas, sentuhan feminis Yupica (Yukkun), gerakan gerilya Alfie, ‘Magic’ Joacelio, dan pendekatan sosiologi Teresa, dapat menjadi alat yang sangat efektif bagi warga desa, dan membantu mereka untuk mengimplementasikan bentuk-bentuk mereka sendiri yang berbasis pada kebutuhan lokal. Warga desa dapat lebih eksploratif menjelajah dunia, lebih dari sekedar film. []

* Videomaker, aktif dalam komunitas Sunday Screen Bandung

Kamis, 30 September 2010

Jadwal Acara Workshop Internasional dan Seminar Nasional Teater 2010

Jadwal Acara Workshop Internasional dan Seminar Nasional Teater 2010

Sabtu, 23 Oktober 2010: Tempat Gedung Pertunjukan Sawunggaling Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, kampus Lidah Wetan

PEMBUKAAN

PEMENTASAN MONOLOG WELLY SURYANDOKO (Mhs. Sendratasik UNESA) JUARA II PEKSIMINAS PONTIANAK

Minggu, 24 Oktober 2010: Tempat Gedung Pertunjukan Sawunggaling Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, kampus Lidah Wetan

WORKSHOP TEATER INTERNASIONAL

ZEFRI ARIFF MA, Magister Theatre Production University of Exeter South West England (Dosen Universiti Brunei Darussalam), Brunei

Jose Rizal Manua Peraih penghargaan Teater Anak Se Dunia (Dosen Institut Kesenian Jakarta), Indonesia

Investasi Rp. 100,000.00 untuk mhs/pelajar/guru

Investasi Rp. 150,000.00 untuk umum/dosen

(konsumsi dan sertifikat+tiket pasar Teater)

Senin-Selasa, 25-26 Oktober

SEMINAR NASIONAL

SENIN, 25 OKTOBER 2010: Tempat Auditorium Prof Leo

TEATER INDONESIA DI MATA PELAKU TEATER

Pengantar khusus dari Zefri Ariff, MA: Produksi Teater dari Teater Melayu Brunei (Universiti Brunei Darussalam)

SELASA, 26 OKTOBER: Tempat Auditorium Prof Leo

Pembicara untuk Sesi Pertama: Kajian Risalah Keaktoran dan Penyutradaraan (Prof. Dr. Yudiaryani MA/ISI Yogyakarta dan Radhar Panca Dahana/Pengamat Teater, Teater Kosong, Jakarta)

Pembicara untuk Sesi Kedua: Kajian Antropologis, Filsafat dan Sosiologi (Afrizal Malna/pengamat teater, Yogyakarta, Adi Wicaksono/pengamat Seni, Jakarta dan Autar Abdillah M.Si/dosen Teater FBS Unesa,mhs program Doktor Unair, dan tim pengembangan buku teks pelajaran Teater Badan Standar Nasional Pendidikan Depdiknas RI, Surabaya)

Aspar Paturusi pembicara pada Sesi Ketiga : Peran Teater dalam Perfilman

Investasi Rp. 100,000.00 untuk mhs/pelajar/guru

Investasi Rp. 150,000.00 untuk umum/dosen

(konsumsi, bahan Seminar dan sertifikat, +tiket pasar Teater)

Rabu, 27 Oktober 2010: Tempat Gedung Pertunjukan Sawunggaling Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, kampus Lidah Wetan

Tiket Rp. 25,000.00 (untuk 3 pertunjukan)

Tiket Rp. 10,000.00 untuk satu pertunjukan

Pementasan Teater Alusedina SMAN 8 Surabaya

Pementasan Monolog

Pementasan Teater Mini Brunei Darussalam

Kamis, 28 Oktober 2010: Tempat Gedung Pertunjukan Sawunggaling Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, kampus Lidah Wetan

PENUTUPAN

PEMENTASAN TEATER SENDRATASIK

23-28 OKTOBER 2010

PAMERAN FOTO PERTUNJUKAN TEATER

PAMERAN BUKU

PASAR TEATER

PERTUNJUKAN VIDEO PERTUNJUKAN

Panitia Pelaksana

SEMINAR NASIONAL TEATER

WORKSHOP TEATER INTERNASIONAL

PASAR TEATER

23-28 OKTOBER 2010

Sekretariat: Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan, 031-7522876; 081330705565, email: teater.sendratasik.unesa@gmail.com; seminarnasionalteater@yahoo.com

FORMULIR PENDAFTARAN

(Waktu pendataran: 20 September-18 Oktober 2010)

NAMA LENGKAP PESERTA : TEMPAT/TANGGAL LAHIR : JENIS KELAMIN : ALAMAT LEMBAGA (jika ada):

ALAMAT RUMAH :

NO TELEPON : :EMAIL :

KEGIATAN YANG DIIKUTI : ( ) Workshop Teater Internasional: ( ) Seminar Nasional

BIAYA WORKSHOP TEATER INTERNASIONAL, 24 Oktober 2010

Investasi Rp. 100,000.00 siswa/mahasiswa/guru

Investasi Rp. 150,000.00 untuk umum/dosen

(Konsumsi, Sertifikat, dan tiket pertunjukan teater)

BIAYA SEMINAR NASIONAL, 25-26 Oktober 2010

Investasi Rp. 100,000.00 siswa/mahasiswa/guru

Investasi Rp. 150,000.00 untuk umum/dosen

(Konsumsi, Bahan Seminar, Sertifikat, dan tiket pertunjukan teater)

Pengiriman pendaftaran bisa melewati no rekening atau langsung ke sekretariat pendafataran Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan, 031-7522876; 081330705565; 08563360467; 087853234629

Pengiriman Pendaftaran via No. rekening: Peserta menyerahkan bukti pengiriman pada saat registrasi, 23 Oktober 2010

Lukman Riyadi

Rekening Bank Jawa Timur (Jatim) cabang HR Muhammad

No. Rek. 0652001173

Rabu, 09 Juni 2010

Agenda Seni Hari Ini

Pameran Tunggal Lukisan XII Dwijo Sukatmo

Waktu: 3 – 11 Juni 2010

Tempat: Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta


Dwijo Sukatmo, sang pelukis memang bisa memperbanyak sosok-sosok kuda sebagai objek lukisannya. Dia lalu memecah dan membelah-belahnya dalam potongan-potongan, kemudian menumpangtindihkannya. Dari sini terciptalah bidang-bidang yang kemudian dia isi dengan kombinasi warna-warna kuat dan terang serta warna-warna lembut dan gelap, yang sugih akan nuansa. Maka kanvas-kanvasnya pun hadir seperti dinamika pola yang tanpa akhir. Bentuk berjejer atau overlapping, membuat tata warna yang begitu kaya dan menyala. Warna-warna pesisir yang meriah, kosmopolitan dan modern, seperti membawa kita bergerak tak putus-putusnya.

Pameran Seni Rupa "The Doublefold Dream of Art"

Waktu: 4 Juni – 24 Juni 2010

Tempat: Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur No. 14, Jakarta Pusat



Pameran Tunggal Ropih Amantubillah "Golden Moment"

Waktu: 22 Mei - 13 Juni
Tempat: Rumah Seni Ropih, Jl. Braga No. 43 Bandung

Tema lukisan Ropih terlihat dekat dengan keseharian. Suasana di pasar, penjual sate keliling, tukang jamu, pemain kuda lumping, serta wayang golek, terlihat tak asing. Pada karya bertema seperti itu, anak sekaligus murid pelukis almarhum M. Mitra tersebut banyak menampilkan figur perempuan sebagai model.

Festival Film Sepak Bola

Waktu: 3-6 Juni pukul 13.30 sampai 21.30 WIB
Tempat: Erasmus Huis, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan, Jakarta

Erasmus Huis bekerja sama dengan British Council dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta akan memutar 20 film pilihan dari Indonesia, Inggris, Belanda dan beberapa negara tetangga dalam Festival Film Sepak Bola.


Pameran Tunggal I Made Mahendra Mangku: Dialog dalam Ruang

Waktu: 01-19 Juni
Tempat: Tembi Contemporary, Jl. Parangtritis Km. 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta

I Made Mahendra Mangku merupakan sosok seniman Bali yang dengan setia menggeluti bahasa rupa abstrak sejak 1992. Kali ini ia memamerkan karya-karya abstrak terbarunya di Tembi Contemporary. Laki-laki kelahiran 1972 asal Sukawati ini memulai karir kesenimanannya dengan serius sejak dari bangku kuliah di jurusan seni lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Hingga saat ini, berbagai pengalaman pameran telah diikutinya, beberapa penghargaan juga dia dapatkan, seperti Finalis Philip Morris Indonesia Art Award (1996-1998), Penghargaan dari Kementrian Kebudayaan RI (1998), serta Top Finalis dalam Sovereign Annual Contemporary Asian Art Prize Hongkong (2004).

Pameran Tunggal Pematung I Wayan Darlun

Waktu: 18 Mei – 18 Juli 2010
Tempat: Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali

Ekshibisi tunggal pematung I Wayan Darlun kali ini merupakan kelanjutan pameran patung bersama, “In The Morning of the World” di Jakarta, bertepatan dengan acara Emerging Market Forum, September, 2006. Kala itu beberapa patung karya I Wayan Darlun menarik perhatian banyak khalayak.

Pameran Seni Rupa "The Doublefold Dream of Art"

Waktu: 29 Mei - 22 Juni 2010

Tempat: Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur 100, Bandung, Jawa Barat

Pameran Bersama Ten Made



Waktu: 28 Mei - 8 Juni 2010

Tempat: Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi 7, Yogyakarta

Perupa yang menggelar pameran bersama ini, antara lain, A.A. Ngurah Paramartha, I.B. Putu Purwa, I Ketut Teja Astawa, I Made Budiadnyana, I Made “Dollar” Astawa, I Made “Romi” Sukadana, dan I Wayan “Anyon” Muliastra.

Kurator: Arif Bagus Prasetya

Pameran Tunggal Perupa Bob Sick's “BOBVARIUM”

Waktu: 26 Mei – 26 Juni 2010

Tempat: Srisasanti Art House, Jalan Kemang Raya No. 81, Jakarta

Srisasanti Syndicate mempersembahkan pameran tunggal seorang seniman eksentrik yang namanya begitu meroket dan jadi buah bibir pada 2007 lalu dengan karya-karya naïf, dan provokatifnya. Dialah Bob Sick Yudhita Agung, seniman asal Yogyakarta yang mengaku mendedikasikan diri dan hidupnya hanya demi seni, sehingga rela merajam dirinya dengan berbagai tato di tubuhnya dari mulai wajah sampai seluruh badan. Bob Sick menampilkan sekitar 15 karya lukisnya dengan mengusung tema “Bobvarium” yang menakjubkan dan termasuk salah satu presentasi paling mutakhir dari seni kontemporer kita bulan ini.

Pameran Seni Rupa “RECOGNITION”

Waktu: 27 Mei – 16 Juni 2010

Tempat: Ars Longa Gallery, Jalan Mantrigawen Lor No. 11, Yogyakarta

Kurator : Frigidanto Agung

Pameran dan Peluncuran Buku Made Budhiana: Melintas Cakrawala / Crossing The Horizon

Waktu: 26 Mei – 26 Juni 2010

Tempat: Maha Art Gallery, Club House Bali Beach Golf Course, Jalan Hang Tuah No. 58, Sanur, Bali

Made Budhiana lebih dulu dikenal sebagai pelukis abstrak. Meski ia masih tetap melukis abstrak, ia juga seorang perupa yang kreatif, baik dari aspek gagasan maupun dari aspek eksperimentasi media. Sebagai perupa kreatif, gagasan-gagasannya seringkali tak terduga, spontan dan segar. Ia tak selalu terpaku pada bidang kanvas belaka; melainkan juga memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemanfaatan media lain sebagai ekspresi kreatifnya.

Kencederungan ini semakin kuat ketika ia menamatkan studinya dari ISI Yogyakarta pada 1987. Karena itu lebih baik kita menyebutnya sebagai perupa kreatif daripada hanya sekadar pelukis abstrak mengingat perantauan kreatifnya melintasi sekat-sekat seni rupa konvensional.



Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta Menggelar Pameran Fotografi Format Besar: Urban Dream/Mimpi Urban

Waktu: 3 – 21 Juni 2010

Tempat : Taman Ayodya, Jalan Barito, Jakarta Selatan

Pameran Seni Rupa Mimi Fadmi "Monument Memory"

Waktu: 30 Mei-13 Juni 2010

Tempat: Platform 3, Jl Cigadung Raya Barat No.2, Bandung

“Pameran ini berangkat dari pengalaman inderawi saya dan ayah saya menyangkut wajah kolonialisme Belanda di Indonesia. Wajah tunggal kolonialisme menyematkan segala sifat buruk pada si penjajah, sementara si terjajah adalah korban."

"Surabaya: Beyond Your Imagination" - PocketGraphy & BBGraphy Exhibition

Waktu: 20 Mei – 13 Juni 2010

Tempat: Art Galleri @ House of Sampoerna, Jalan Taman Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur

MAHA (Mamuk, Agus, Hengki, Andre), dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda, memotret Surabaya dengan cara yang lain. Obyek yang dipilih bukan yang lazim kita lihat di pameran-pameran foto tentang Surabaya selama ini. Kalaupun sama disajikan dengan dari sudut yang berbeda. Ada yang membuat kita tersenyum, semakin bangga dengan Surabaya dan mungkin berkomentar 'Onok ae’. Yang istimewa, semuanya hanya diambil dengan pocket camera dan BlackBerry. Bagi MAHA, fotografi bukan lagi persoalan teknis tapi sebuah karya seni.


Bagus Virgiawan

Jumat, 26 Februari 2010

MEMERIKSA TEATER INDONESIA

TEATER Indonesia kini adalah kenyataan yang menjadi jumud bahkan involutif dan hanya berputar-putar dalam tempurung dunianya sendiri. Maka menjadi wajar jika ditengarai adanya stagnasi dalam perkembangan teater Indonesia. Soal utama dari sejumlah kelompok teater adalah sulitnya menemukan suatu pemikiran dasar yang kuat dan melandasi kerja kreatif dan hidup berteaternya. Selama tiga dekade ini, ada indikasi terhentinya pergerakan atau perkembangan teori, metode, dan filosofi teater di Indonesia. Ia terbelenggu dalam dunia eksklusivitasnya yang menyempit sehingga berjarak dari realitas dunia kontemporer di sekelilingnya. Akibat dari seluruh situasi ini adalah tak adanya pencapaian artistik, yang jika tidak merupakan perpanjangan tangan ide dari para pendahulunya, ia semata hanya jadi pengikut epigon buta dari bentuk-bentuk yang berhenti pada bentuk belaka.

Di lain sisi, situasi teater Indonesia modern hari ini dihuni oleh generasi yang seolah tak memiliki sejarah. Berbeda dengan para pendahulunya yang melahirkan tradisi baru, yang menyerap dan memadukan teater tradisi dan modern (Barat), sehingga melahiran tradisi baru di mana Barat hanyalah salah satu referensi; generasi teater Indonesia hari ini berpaling lagi ke Barat untuk mencari pegangan, kekuatan, dan kebanggaan. Tradisi baru teater Indonesia yang ditemukan oleh para pendahulunya mulai tidak laku. Di tengah situasi inilah teater kontemporer Indonesia terancam kehilangan muka karena lebih senang berkaca pada referensi Barat ketimbang menggali kekuatan di ranah tradisi dan budayanya sendiri.

Akan tetapi, teater Indonesia mestilah juga dipandang sebagai relasi ketidaktuntasan. Bukan tenunan yang selesai. Di situ tradisi mestilah terus dibaca dan diperiksa. Tradisi harus diperlakukan sebagai laboratorium demi menghidupkan berbagai kemungkinan kesenian dalam riset partisipatoris. Dari konteks inilah bisa terbaca salah satu aspek evaluatif yang disumbangkan oleh pemikiran postmodern, yakni menyangkut pentingnya proses dekonstruksi terhadap teks yang diabsolutkan.

Demikian sejumlah pemikiran yang mengapung dalam seminar bertajuk "Memeriksa Teater Indonesia Kontemporer: Tantangan, Harapan, Kecemasan", yang berlangsung di GK Sunan Ambu STSI Bandung, Sabtu (3/10). Seminar yang merupakan bagian dari program The First Invitation To The Theatre 2009 yang diselenggarakan oleh Jurusan Teater STSI Bandung ini menampilkan pembicara kritikus Radhar Panca Dahana, Putu Wijaya, Benny Johannes, dan Prof. Dr. Bambang Sugiharto.

Seperti diamanatkan oleh tajuk seminar, dari berbagai sudut pandang, keempat pembicara mencoba memeriksa sejumlah permasalahan dalam jagat teater kontemporer Indonesia dengan korelasinya pada tradisi yang telah ada sebelumnya. Demikian pula korelasi dan persinggungannya dengan berbagai fenomena mutakhir yang tengah berlangsung dengan berbagai perubahannya.

**

TEATER mutakhir Indonesia diakui didasarkan oleh beberapa bentuk utama yang mengisyaratkan gaya, bentuk, metode, hingga filosofinya sendiri-sendiri. Semua itu ditetaskan oleh para leluhur teater nontradisional, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, Djadoeg Djajakusumah, W.S. Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suyatna Anirun, hingga Wahyu Sihombing. Dari mereka lahirlah berbagai bentuk sinkretik yang berjejak ke dalam tradisi teater Indonesia. Dari mulai realisme yang merujuk pada well made play ala Stanilavsi yang dianut oleh Asrul Sani, Teguh Karya, dan Wahyu Sihombing, hingga psikogis-tradisional dengan struktur naskah dan perwatakan yang ketat sembari melekatkan unsur-unsur tradisi sebagaimana terasa dalam karya Arifin C. Noer dan Suyatna Anirun.

Demikian pula bentuk sinkretik yang memadukan filosofi dan metodogi dramaturgis oksidental dan oriental pada karya-karya W.S. Rendra, dan bentuk eksperimental yang diwakili Putu Wijaya dan Danarto. Dan akhirnya adalah bentuk romantik simbolik yang direpresentasikan oleh Teater Sae dengan Budi S. Otong dan Afrizal Malna.

"Berdasarkan latar teatrikal itulah, kita dapat melihat realitas teater mutakhir kita. Mengecualikan Teater Sae, pada umumnya bentuk-bentuk pertunjukan teater kita dapat diacu pada salah satu atau persilangan dari bentuk-bentuk tersebut. Dan kenyataan yang terjadi mengindikasikan terhentinya pergerakan atau perkembangan pemikiran, teori, metode, dan filosofi teater kita. Setidaknya selama tiga dekade ini," tutur Radhar Panca Dahana.

"Diskursus intelektual di kalangan teater merosot tajam, jika tidak dapat dikatakan pingsan atau mati suri, juga tidak berhasil menumbuhkan kritikus, pengamat, dan pengkaji akademik yang menjadi juru bicaranya. Wajar bila kemudian ditengarai adanya stagnasi dalam perkembangan teater Indonesia. Terbukti pada ketidakmampuannya berkompetisi di tingkat internasional, baik dalam kapasitas artistik maupun intelektual. Begitupun ketidakmampuannya membangun otoritas yang bisa menempatkannya sebagai acuan bagi generasi pelanjut," ujarnya.

Dalam pandangannya, daya tahan atau survivalitas pekerja teater yang jumlahnya sangat tidak kecil adalah modal juga potensi yang cukup hebat, dan yang sebenarnya belum optimal didayagunakan. Dapat dibayangkan kemungkinan-kemungkinan besar yang ada dalam ruang kerja teater seperti itu. Potensi-potensi cemerlang yang terpendam namun terlumpur karena tempurung yang diciptakan atau prakondisi eksternal yang tidak mendukung.

Senada dengan Radhar, Putu Wijaya memeriksa betapa teater Indonesia hari ini adalah jagat yang dihuni oleh sebuah generasi yang menyebar dari tradisi baru yang dilahirkan oleh para pendahulunya. Tradisi baru dimaksud Putu menyaran pada tradisi yang bangkit dari pergesekan intensif antara teater tradisi dan teater modern. "Tradisi baru adalah puncak-puncak pencapaian teater Indonesia modern yang bersumber pada tradisi yang kemudian menjadi rujukan baru mengganti tradisi Barat. Tradisi baru juga adalah kecenderungan merujuk itu sendiri yang tidak memosisikan Barat sebagai kiblat. Tradisi baru adalah langkah besar untuk kembali pada kearifan lokal yang ada dalam selongsong tradisi," ujarnya.

Tetapi sungguh disayangkan ketika pembelajaran teater mulai dilakukan secara sistematik lewat akademi. Seluruh penemuan tradisi baru seakan dibatalkan. Dramaturgi dimulai lagi dari Yunani kuno. Pembelajaran teater dikembalikan lagi ke estetika Barat. Hal tersebut dipacu lagi oleh kian kurang aktifnya para narasumber tradisi baru. Dalam kebebasan yang hampir tanpa batas setelah reformasi, teater Indonesia justru kehilangan pemicu.

"Tradisi baru mulai tidak laku. Teater kontemporer Indonesia tak lama lagi bisa kehilangan muka karena lebih senang berkaca pada referensi Barat," tegas Putu.

Dengan menguntit tata-cara kehidupan drama Barat, teater modern Indonesia dipisahkan dari cabang kesenian lain. Teater total yang merupakan eksistensi teater tradisi, mengkristal dalam sandiwara menjadi hanya teater kata-kata.

"Barat harus berhenti dijadikan kiblat, meskipun masih dipelihara sebagai hanya salah satu referensi. Akademi atau usaha pembelajaran yang tidak memperhatikan gejala ini akan membawa pembelajaran teater Indonesia sesat," tambahnya lagi.

Pada bagian lain, Putu menegaskan diperlukan sebuah interprestasi baru untuk memeriksan dan melihat teater Indonesia. Banyak sekali penafsiran yang sudah membelokkan pemahaman, misalnya, ketika menyalin kata drama dengan "sandiwara".

Ketika istilah "drama" diganti dengan "sandiwara", maka terjadi pula pergeseran penting yang berakibat panjang. Bentuk pertunjukan drma yang berasl dari Yunani kuno sebagai upacara penyembahan pada Dewa Dyonisos, dianggap pertunjukan "kabar" (wara) "rahasia" (sandi).

"Arti harfiah "sandiwara" (kabar yang dirahasiahkan) membuat drama yang berkembang semakin melebar, justru jadi sempit," urai Putu.

**

AKAN tetapi tradisi bukanlah barang mati. Bukanlah sesuatu yang final. Ia harus terus dibuat menjadi untuk mencari berbagai kemungkinan kreatif di dalamnya. Inilah yang ditawarkan oleh Benny Johannes (Benjon) untuk mengambil suatu sudut pandang dalam memahami tradisi. Berbeda dengan Radhar dan Putu yang menginventarisasi pencarian bentuk yang dilakukan para leluhur teater modern Indonesia, Benjon mencoba menelaah lebih jauh perjalanan pencarian bentuk-bentuk tersebut. Artinya, pemeriksaan yang dilakukan Benjon mencoba lebih jauh masuk ke dalam faktor-faktor intrinsiknya, untuk lalu di situ ia mengapungkan cara pandang serta pengertiannya ihwal tradisi dan jejak para leluhur tersebut.

Ia memandang tradisi adalah sebuah keniscayaan yang harus dimaknai sebagai sebuah labotarium. Diskursus inilah yang jejaknya ditunjukkan oleh sejumlah model pemanggungan teater pascareformasi. "Memperlakukan tradisi sebagai laboratorium adalah cara menghidupkan kemungkinan kesenian dalam riset partisipatoris. Pendekatan ini menjanjikan sebuah proses empati pada tradisi, sekaligus membedah tradisi sebagai laboratorium interogasi," ujarnya.

Pada bagian lain, Benjon mencermati perjalanan teater Indonesia dalam konteks kultur urban. Kultur yang sejak tahun 1970-an menemukan berbagai artikulasi keberadaannya yang menyaran pada isu-isu politik, seperti apa yang banyak terbaca pada karya-karya WS. Rendra.

Meski ada dorongan kuat untuk menggunakan panggung teater sebagai media kritisisme publik, Benjon memandang pada periode tahun 1970-an itu, masih ada sejumlah seniman teater yang tetap mempertahankan model estetika teater akademis.

Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, lebih memilih teater sebagai medan studi akademis. Pilihan tematiknya condong mengangkat problem kemanusiaan universal.

"Dan inilah alasan dasar mengapa favoritisme pada naskah asing menjadi dominan. Pemanggungan dicapai melalui perfeksi artistik. Teater menjadi model seni menyajikan, bukan seni menyatakan," papar Benjon.

Lebih jauh ia melihat bagaimana seniman teater yang lebih banyak bersentuhan dengan kultur urban, memiliki urgensi yang berbeda dalam mencetuskan pilihan model estetikanya. Taman Ismail Marzuki periode 1970-an adalah habitat kesenian kritis yang bergerak intensif seiring ancaman sensor dan pelarangan yang mengintainya.

Mengendurnya kiblat teater periode 1970 dan 1980-an dari orientasi realisme, bergerak seiring dengan tidak vitalnya bentuk teater diskursus ditengah budaya politik orde baru yang monokromatik dan represif. Panggung tidak merepresentasikan realitas faktual yang dekat dan akrab. "panggung", ujar Benjon, "Menjadi gambaran alienatif atau sisi marjinal dari sebuah fakta sosial. Tidak ada hubungan kausalitas antara tokoh dan model tuturan. "

Menyinggung teater mutakhir Indonesia, Benjon melihat bahwa ia sedang bergerak menerobos limitasi cerita. Teater Indonesia mutakhir sedang meruntuhkan tubuh pertunjukan, begitu hukum kausalitas narasi. "Teater sedang bermain dengan ketidaklengkapan, menyangsikan keutuhan, memencilkan retorika dan diksi ekplainatif, menerobos wilayah non-cerita dengan cara mengetengahkan berbagai lapisan subversif dari penanda tubuh, kata, dan benda. Namun seluruhnya itu justru dipacu ke arah tujuan konyradiktifnya, yakni, merenggangkan hubungan konstitutif antara materi dan makna,"tuturnya.

Dalam pandangannya, terdapat pergeseran dalam praktik tekstualisasi teater Indonesia, terutama pasca periode 1990-an. Itu terlihat dalam cara bangunan teks dalam teater, yang semula bersifat piramidal menjadi teks lateral. Tradisi teks piramidal adalah teks dramatik berbentuk naskah lakon, yang disusun dengan struktur dramatik Aristotelian. Teks ini berbentuk alur lengkap dengan klimaks dramatik.

Sedangkan teks lateral meniadakan pesan yang mengerucut. Fragmen impresif dan potongan situasi konflik hanya dijajarkan, tidak diuntai.

"Maka sejumlah pilihan kreativitas dimunculkan oleh generasi pasca 1990-an, seperti Dindon WS. Elemen cerita hanya menjadi kemeja tak berkancing. Rachman Sabur menggali genre teater fisik, di mana narasi bergerak lewat makna arsitektural tubuh," katanya.

Dalam tubuh pertunjukan teater mutakhir, tak bisa lagi dibuat kategori-kategori diametral abtara protagonis dan antognis. Teater kini bukan lagi kendaraan untuk integrasi sebuah lakon atau diskursus konfliktual antar karakter.

"Antagonis kontemporer dalam teater lateral tidak dimunculkan lewat representasi sosok," tambah Benjon.

**

SEMENTARA itu, Bambang Sugiharto lebih berangkat dari pemikiran-pemikiran reflektif ihwal teater mutakhir hari ini seraya mengemuka sebuah pertanyaan, untuk apa berteater? Mengapa teater? Dan teater macam apa yang kiranya dituntut dalam situasi seperti sekarang?

"Dalam rangka refleksivitasnya, teater dapat menggunakan aneka jenis bahasa. Tetapi semua itu hanya akan berefek eksistensial bila ia tampil menjadi metafor baru yang bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap hidup dan dirinya sendiri," ujar Bambang Sugiharto.

Dalam pandangannya, metafora yang tepat haruslah lahir dari kesadaran dialektik antara sense of apotheosis dan sense of derision, atau antara aspirasi tinggi lahiriah dan kesadaran bahwa mungkin itu kekonyolan dan sia-sia belaka.

Di bagian lain uraiannya, Bambang Sugiharto juga mencoba menengok pemaknaan teater dalam masyarakat kebudayaan di era pramodern, sebagai apa yang disebutnya dengan teater-ritual tradisonal. Jenis teater ini berhasil menampilkan kofigurasi Yang Suci (the Holly) dengan berbagai cara.

"Sedangkan teater modern adalah upaya untuk menemukan kembali dimensi transedental yang hilang itu. Rute pencariannya memang sama sekali berbeda. Teater modern tidak mencarinya ke luar, ke ranah metafisik transenden, melainkan menyuruk ke ke lapisan paling gelap dalam kedalaman diri manusia yang paling misterius," katanya.

STeater, kata Bambang, memang bekerja secara "magis", dan efektivitasnya harus muncul dari penghayatan kedirian yang otentik, yang mampu menyelami jeroan kenyataan. (Sumber : Pikiran Rakyat - Ahda Imran)

Pengertian Drama dan Teater

Drama berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama

Dalam bahasa Belanda, drama adalah toneel, yang kemudian oleh PKG Mangkunegara VII dibuat istilah Sandiwara.

Drama (Yunani Kuno δρᾶμα) adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.

Secara etimologis : Teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas, teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Teater bisa juga diartikan sebagai drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb.

Teater (Bahasa Inggris “theater” atau “theatre”, Bahasa Perancis “théâtre” berasal dari Bahasa Yunani “theatron”, θέατρον, yang berarti “tempat untuk menonton”) adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Univesitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai ” yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain.” Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.

Akting tidak hanya berupa dialog saja, tetapi juga berupa gerak.

Dialog yang baik ialah dialog yang :

1. terdengar (volume baik)
2. jelas (artikulasi baik)
3. dimengerti (lafal benar)
4. menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)
5. Gerak yang balk ialah gerak yang :
6. terlihat (blocking baik)
7. jelas (tidak ragu‑ragu, meyakinkan)
8. dimengerti (sesuai dengan hukum gerak dalam kehidupan)
9. menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)

Penjelasan :

1. Volume suara yang baik ialah suara yang dapat terdengar sampai jauh.

2. Artikulasi yang baik ialah pengucapan yang jelas. Setiap suku kata terucap dengan jelas dan terang meskipun diucapkan dengan cepat sekali. Jangan terjadi kata‑kata yang diucapkan menjadi tumpang tindih.

3. Lafal yang benar pengucapan kata yang sesuai dengan hukum pengucapan bahasa yang dipakai. Misalnya berani yang berarti “tidak takut” harus diucapkan berani bukan ber‑ani.

4. Menghayati atau menjiwai berarti tekanan atau lagu ucapan harus dapat menimbulkan kesan yang sesuai dengan tuntutan peran dalam naskah.

5. Blocking ialah penempatan pemain di panggung, diusahakan antara pemain yang satu dengan yang lainnya tidak saling menutupi sehingga penonton tidak dapat melihat pemain yang ditutupi.

6. Pemain lebih baik terlihat sebagian besar bagian depan tubuh daripada terlihat sebagian besar belakang tubuh. Hal ini dapat diatur dengan patokan sebagai berikut

a. Kalau berdiri menghadap ke kanan, maka kaki kanan sebaiknya berada didepan.

b. Kalau berdiri menghadap ke kiri, maka kaki kiri sebaiknya berada didepan.

c. Harus diatur pula balance para pemain di panggung. Jangan sampai seluruh pemain mengelompok di satu tempat. Dalam hal mengatur balance, komposisinya:

· Bagian kanan lebih berat daripada kiri
· Bagian depan lebih berat daripada belakang
· Yang tinggi lebih berat daripada yang rendah
· Yang lebar lebih berat daripada yang sempit
· Yang terang lebih berat daripada yang gelap
· Menghadap lebih berat daripada yang membelakangi

Komposisi diatur tidak hanya bertujuan untuk enak dilihat tetapi juga untuk mewarnai sesuai adegan yang berlangsung; Jelas, tidak ragu‑ragu, meyakinkan, mempunyai pengertian bahwa gerak yang dilakukan jangan setengah‑setengah bahkan jangan sampai berlebihan. Kalau ragu‑ragu terkesan kaku sedangkan kalau berlebihan terkesan over acting. Dimengerti, berarti apa yang kita wujudkan dalam bentuk gerak tidak menyimpang dari hukum gerak dalam kehidupan. Misalnya bila mengangkat barang yang berat dengan tangan kanan, maka tubuh kita akan miring ke kiri, dsb. Menghayati berarti gerak‑gerak anggota tubuh maupun gerak wajah harus sesuai tuntutan peran dalam naskah, termasuk pula bentuk dan usia.

Followers

  • Jelajah Indonesia
  •